Kamis, 25 Oktober 2012

Karena Aku Bisa - My Short Story 1


KARENA AKU BISA!
"Smile could made me stranger for everything"
Resti Fairuz, seorang gadis yang telah beranjak dewasa. Seorang gadis yang mempunyai berjuta impian tentang kehidupan indah. Indah dalam beragam arti. Kini ia telah berumur 14 tahun. Kehidupan remaja nya telah dimulai dari sekarang.
“Resti sayang ayo sarapan bareng.” Suara tante Rina terdengar lembut, mama Resti.
“Iya ma, ntar lagi Resti sarapan. Resti masih nyiapin peralatan.” Teriak Resti dari dalam kamar.
“Kak Resti bajunya rapi banget. Udah gak sabar sekolah lagi ya?” kata Ortiz, adik Resti satu-satunya, masih duduk di kelas 3 Sekola Dasar.
“Masak sih dek ? iya sih kakak udah gak sabar pengen sekola lagi. Kamu seneng sekolah lagi?” Tanya Resti penuh kasih.
“Iya kak, Tiz juga udah gak sabar sekola. Kangen sama temen-temen Tiz.” Ucap Ortiz, yang selalu memanggil dirinya Tiz.
“Eh, ayo diabisin sarapannya. Ntar kalian telat sekolah nya.” Tante Rina mengingatkan.
“Iya ma.” Kata Resti dan Ortis bersamaan.
“Oh ya Res, nanti tolong antar Ortiz ke sekolah ya. Mama lagi ada pesanan banyak, jadi gak bias nganter Ortiz. Ortiz mau kan diantar kak Resti?” kata Tante Rina.
“Oke ma, biasanya kan Resti juga nganterin dek Ortiz. Iya gak dek?” ungkap Resti seraya menoleh pada Ortiz.
“Iya donk. Tiz mau banget kalo dianter kak Resti, seneng malah.” Ungkap Ortiz menaruh sarapannya.
“Ortiz udah makannya ? yuk kita berangkat.” Ajak Resti pada adiknya.
“Udah kak, ayo.” Kata Ortiz sambil membawa tas-nya.
“Jangan lupa pamit mama.” Resti mengingatkan.
“Ma, kita berangkat ya !” ucap Resti dan Ortiz yang sudah tampak meninggalkan rumah mungil mereka.

Setelah mengantar adiknya, Resti segera menuju sekolah barunya dengan kendaraan umum. Akhirnya udah masuk sekolah lagi, ungkap Resti dalam hati. Bukannya ia tidak suka liburan. Tapi setiap kali liburan ia hanya menghabiskan waktu membantu mama dan bermain bersama Ortiz. Menyenangkan memang, tapi bagi anak pintar seperti Resti agaknya ia sudah tak sabar untuk segera menuntut ilmu.

Sesampainya di sekolah ia disambut hangat oleh teman-teman yang sudah tak asing lagi baginya.

“Iruz ! aku kangen nih sama kamu.” Sapa Leta, sahabat Resti sejak kecil.
“Sutil ! aku juga kangen sama kamu.” Jawab Resti.
“Ckckck kalian ini, katanya kangen kok panggilannya masih ‘Irus-Sutil’? nama asli kenapa?” tanggap Fondy, teman mereka.
“Biarin. Itu kan panggilan sayang kita, ya nggak Rus ?” Tanya Leta pada Resti.
“Sayang? Ih aku masih normal kali. Masih suka jenis cowok.” Jawab Resti.
“Maksudnya sebagai sahabat Rus. Aku juga masih normal.” Kata Leta menegaskan.
“Oh, ya iya donk. Lagian gak papa kan kalo kita punya panggilan sayang?” Tanya Resti pada Fondy.
“Dasar dua sekawan. Selalu kompak.” Kata Fondy langsung ngeloyor pergi.
“Eh Rus, liburan kemaren kemana ? kok gak ada kabar sama sekali.” Tanya Leta saat mereka menduduki bangku baru di kelas baru mereka.
“Gak kemana-mana sih. Cuman bantuin mama sama nganterin Ortiz ke Papa. Lah kamu ndiri kemana Til ?” Resti balik tanya.
“Aku sih stay at home aja. Oh ya, gimana kabarmu sama papa mu?” tanya Leta ragu.
“Ya gitu lah Til, tetep gak ada perubahan.” Tutur Resti tak mau peduli.
“Kamu gak mau baikan sama papa mu? Gimana pun juga dia berjasa buat hidup mu Rus.” Kata Leta, mengingatkan.
“Emang dia berjasa buat aku. DULU. Gak untuk sekarang dan selanjutnya.” Kata Resti menegaskan.
“”Em.. iya deh, sorry Rus. Aku jadi ceramah deh.” Ucap Leta, merasa tak enak hati dengan Resti.
“Iya Til, gak papa kok. Tapi kemaren aku bertengkar hebat sama papa. Makanya aku jadi makin kesel sama dia.” Tutur Resti.
“Loh loh loh, lah emang kenapa toh Rus kok kamu sampe tengkar sama papa mu?” tanya Leta, heran.
“Gimana gak sebel coba, masak ya waktu aku sama Ortiz dateng ke rumahnya kita malah disuruh pulang. Tuh orang gak punya ati. Anak sendiri diusir.” Jelas Resti, dengan kekesalan membara.
“Masak dia setega itu sih Rus?” tanya Leta, masih heran dengan cerita Resti.
“Iya Til, ngapain juga aku boong. Aku bingung sama jalan pikiran tuh orang, bisa-bisanya dia ngebuang aku dan Ortiz gitu aja? Gak mikir kalo kita juga manusia.” Jelas resti , bertambah kesal.

Memang, sejak 3 tahun silam kehidupan Resti berubah seluruhnya. Semua mimpi indah nan rupawan nya lenyap seketika. Keluarga yang ia banggakan dalam dirinya, roboh seketika. Sosok yang ia sayang turut lenyap dalam amarah. Papa nya pergi begitu saja meninggalkan ia, adik, dan mamanya. Beliau menceraikan sang mama hanya karena seorang wanita kaya. Resti tak pernah mengira bahwa papa nya bertindak sekejam itu padanya. Kekesalan dan amarah Resti makin menjadi tatkala sang Papa tega mengusir ia dan adiknya.

Saat Ortiz benar-benar rindu pada Papa nya. Resti tak tega melihat adiknya menahan sakit karena rindunya. Hingga akhirnya ia mengantar adiknya bertemu papa mereka. Namun, bukan mendapat sentuhan kasih sayang malah bentakan amarah yang mereka dapat. Papa nya mengusir mereka saat ia tiba di rumah baru papa dan ibu tirinya itu. Kala itu Ortiz langsung menangis sejadi-jadinya, ia berjanji tak akan mau bertemu papa lagi. Ia juga berjanji untuk berusaha membahagiakan mama yang kini banting tulang sendiri.

Hingga akhirnya Resti dapat menenangkan adiknya. Namun janji Ortiz pada dirinya dan mamanya tak bisa dipatahkan Resti. Resti sendiri pun memang sudah tak mau jumpa dengan papa kalau bukan karena sang adik.

Dan kini ia lega, akhirnya tak kan ada alasan lagi baginya untuk bertemu papa.
“Irus, kamu gak papa kan ? helo ??” tanya Leta membuyarkan lamunan Resti.
“Eh.. oh.. em.. ada apa Let ? udah masuk?” tanya Resti tergeragap.
“Hea, abis ngelamun toh rupanya. Belom masuk kok, hari pertama masih bebas kali.” Tutur Leta.
“Oh, hehe maaf Til aku sering nge blank akhir-akhir ini.” jelas Resti.
“Iya deh, kantin yuk. Laper belom sarapan.” Ajak Leta.
“Ayo.” Jawab Resti.

“Resti pulang!” seru Resti setibanya di rumah.
“Mama… Ortiz… halo? Kok sepi? Gak biasanya jam segini rumah masih sepi.” Kata Resti heran.
“Huhuhu…. Hiks.. hiks.. hiks.. “ terdengar suara tangis dari kamar Ortiz.
“Loh, Ortiz kenapa? Kok nangis? Abis berantem ya sama temen baru?” Tanya Resti lembut.
“Tiz hiks.. gak bertengkar hiks… sama temen Tiz hiks… kak.” Kata Ortiz sesenggukan.
“Cup. Cup. Terus Ortiz kenapa nangis? Sini sama kakak. Oh ya mama mana?” Tanya Resti seraya mendekap adiknya dalam pelukannya.

“Tiz nangis, soalnya mama hiks.. mama hiks.. mama belom pulanghks… karena hiks.. kecelakaan kak hiks… huaaaaaaaah.” Deg. Pernyataan Ortiz barusan mengejutkan Resti yang masih mendekap adiknya itu. Tangis Ortiz makin menjadi, Resti tak tega melihatnya.
“Adek, gak boleh ngomong gitu ah. Mama kan tadi dapet banyak pesenan jadi mungkin aja mama masih nganter pesenan terus masih kena macet di jalan.” Kata Resti menenangkan adik dan hatinya yang kini gelisah.
“Enggak kak! Hiks.. mama tadi kecelakaan, hiks.. waktu Tiz dijemput mama tadi, hiks… di depan gang sana, hiks.. ada motor ngebut, hiks.. nabrak mama dari belakang. Mama dibawadi rumah sakit,, hiks… Tiz bodoh kak, hiks.. Tiz gak bisa jaga mama,hiks.. coba tadi Tiz tarik mama,hiks.. pasti mama udah di rumah sekarang.. hiks.. Huaaaaaaaaaaah.” Suara Ortiz terdengar gemetar. Ada rasa penyesalan di hati anak itu.
“Pssst… Tiz gak bole gitu. Sekarang mama dimana? Terus kenapa Ortiz gak ikut mama ke Rumah sakit?” suara Resti tak kalah gemetar dengan suara adiknya. Namun Resti berusaha tegar di hadapan sang adik.

“Kata Bik Jah, hiks… mama di hiks.. Rumah Sakit Bakti. Hiks… Tiz gak ikut kesana,hiks.. soalnya hiks.. Tiz malu sama mama hiks…. Tiz gak bisa hiks… bantu mama tadi hiks…” Tutur Ortiz masih gemetar. Resti semakin panic, tapi ia tetap berusaha tidak menangis di depan adiknya.
“Ya udah, sekarang kita kesana. Kalo kita di rumah, sapa yang jagain mama? Bik Jah kanpasti balik pulang lagi.” Tutur Resti seraya berdiri.
Setelah berganti pakaian, Resti dan Ortiz segera menuju R.S Bakti. Tak berapa lama tibalah mereka disana. Resti langsung bertemu dengan Bik Jah, tetangga mereka yang mengantar mama nya ke Rumah Sakit ini.
“Bik, mama mana Bik? Gimana keadaannya?” Tanya Resti panik.
“Mama mu masih di dalam UGD Res, Bik Jah juga gak tau keadaan mama mu. Dari tadi dokternya belom keluar.” Tutur Bik Jah tak kalah panik.
“Resti telfon tante sama om dulu Bik.” Kata Resti.
“Dengan keluarga nyonya Rina.” Suara dokter dari ruang UGD mengejutkan Resti, Ortiz, dan semua keluarga Resti yang telah hadir.
“Iya dok. Saya anaknya. Gimana keadaan mama saya dok? Beliau baik-baik aja kan?” Resti memberondong pertanyaan.
“Luka yang diderita ibu anda cukup parah. Saya dan teman-teman sudah berusaha semaksimal mungkin.” Penuturan dokter jelas membuat Resti shock.
“Dokter, jangan…. bilang …mama saya…..” kata Resti terbata-bata.

“Bukan itu maksud saya. Mama anda masih dalam keadaan koma. Tapi beliau sudah melewati masa kritisnya. Luka yang diderita beliau lah penyebabnya. Saya dan teman-teman tidak dapat memastikan sampai kapan beliau koma.” Tutur dokter itu, sedikit melegakan Resti tapi juga membuat Resti gelisah. Walau begitu, ia tahu bahwa biaya perawatan koma tidaklah sedikit. Tabungannya mungkin cukup, tapi hanya untuk beberapa hari. Bagaimana dengan selanjutnya? Mimik bingung Resti dapat terbaca oleh seluruh sanak keluarganya.

“Ya sudah dok. Sekarang tolong berikan pelayanan terbaik untuk kakak saya.” Ucap tante Helda, adik tante Rina.
“Tante, Resti gak punya tabungan sebanyak itu buat perawatan mama. Tabungan Resti dan Ortiz pun mungkin hanya untuk beberapa hari kedepan.” Jelas Resti.

“Kamu tenang aja, kita semua udah rembugan. Biaya perawatan mama mu kita yang tanggung. Kamu dan Ortiz gak usah mikirin hal ini, kalian harus tetap fokus pada sekolah. Dan selama mama mu masih dirawat, tante dan anak-anak tante akan tinggal di rumahmu. Apa kamu setuju ?” jelas tante Helda. Tak ada pilihan lain selain ini. Mungkin dengan kehadiran tante Helda dan anak-anak beliau dirumahnya, mungkin sedikit menghibur Ortiz yang sedari tadi diam, termenung, dan melamun.
“Iya tante, Resti setuju.” Tutur Resti.

2 bulan kemudian…

Keadaan Tante Rina, mama Resti masih sama sejak kecelakaan itu. Beliau masih koma, beliau belum sadar sedikitpun. Sejak dua bulan lalu juga, sepulang sekolah Resti dan Ortiz menyambangi mama nya. Sekadar menjenguk dan membacakan doa-doa disamping sang mama. Minggu pertama tanpa mama, terasa berat bagi Resti. Ia merasa gamang. Tapi ia tetap bertahan untuk tidak menangis. Ia ingin adiknya tidak berlarut dalam ujian ini.

Seiring berjalannya hari, keadaan Ortiz kian membaik. Kini ia jarang melamun, sepulang dari rumah sakit ia langsung bermain dan belajar bersama Daisy dan Gani anak tante Helda. Namun, Tuhan masih berencana lain.

“Res, tante mau bicara sama kamu, bisa?” Tanya tante Helda ketika Resti berada di kamarnya.
“Oh bisa tante. Mau ngomongin soal apa te?” jawab Resti.
“2 bulan sudah mama mu dirawat. Dan kini bukan kita tak mau membantu atau membebanimu. Tapi jujur saja dana yang kami kumpulkan kian menipis. Sedangkan mama mu tak menunjukkan tanda baik. Tante harap kamu bisa memberi sedikit tambahan dana. Mungkin dari tabungan mu. Coba kamu pikirkan ya.” Jelas tante Helda, meninggalkan kamar Resti.
Tabungan Resti kini juga kian menipis untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Jelas tak akan cukup untuk menambah dana. Resti putar otak memikirnya. Tapi tetap saja jalan buntu yang ia dapatkan. Dan ada satu ide yang enggan Resti lakukan, yaitu menemui papa nya. Ya ! ia tak bisa berkutik lagi. Mungkin ia bisa meminjam uang untuk sementara dari beliau. Walau sangat muak melihat papa-nya Resti bertekad untuk bertindak demi kesembuhan sang mama.

“Tet…Tet…Tet…” terdengar suara bel dari dalam rumah.
“Permisi. Selamat siang.” Sapa Resti dari depan pagar.
“Eh non Resti, ada apa non siang-siang dating kemari.” Sapa Bik Nah, mantan PRT Resti dulu.
“Papa ada Bik? Resti perlu sama Papa nih.” Tanya Resti sopan.
“Ada non, kebetulan Tuan sudah pulang. Mari masuk non.” Kata Bik Nah, sambil membukakan pintu pagar.
“Mari duduk non. Bibi panggilin Tuan dulu.” Kata Bik Nah.
“Iya Bik, makasi.” Kata Resti.

Sambil menunggu Papa-nya, Resti memandang sekeliling rumah yang saat ini sedang didatanginya. Rumah besar nan megah, interior dan barang yang mewah. Menegaskan bahwa pemiliknya bukan orang biasa. Disini tinggal seorang pria yang berharga bagi Resti. Namun mengapa pria itu begitu tega membuangnya? Memisahkan mereka demi semua barang mewah ini? TEGA.

Ah, ada apa aku ini? Tujuanku kesini hanya untuk meminta bantuan, bukan menyesali semua. Kata Resti dalam hati
“Ada apa kamu kemari?” suara berat itu memaksa Resti menoleh,
“Papa, Resti mau bicara sama Papa. Penting.” Kata Resti seraya berdiri dan menjabat tangan Papa-nya.
“Eit, jangan pegang tangan Papa. Langsung saja bicara pada intinya. Papa tak punya banyak waktu untukmu.” Kata Om Eko. Sungguh penyambutan yang mengenaskan bagi Resti. Ia sudah berusaha bersikap sopan.
“Resti butuh uang Pa. Untuk pengobatan mama. Sejak 2 bulan lalu mama dirawat di R.S Bakti.” Kata Resti tanpa basa-basi. Hatinya perih seketika melihat papa-nya. Mengapa beliau menjadi begitu ketus pada dirinya? Darah dagingnya sendiri.
“Apa urusan Papa dengan mama mu? Papa kira papa sudah tak mempunyai tanggung jawab untuk itu. Itu sudah bukan urusan Papa lagi.” Tutur Om Eko. Makin membuat Resti perih dan pilu.
“Itu masih urusan Papa. Kalo ada apa-apa sama mama, siapa yang membiayai dan merawat Resti dan Ortiz? Mama berarti buat kita Pa.” kata Resti menegaskan.
“Oh begitu. Sudah berani melawan papa kamu sekarang. Siapa yang mengajari mu seperti ini? Ini hasil didikan mama mu? Sungguh mengecewakan!” kata Om Eko, sedikit emosi.
“Bukannya Resti melawan, tapi Resti hanya meluruskan yang salah. Dan jangan salahkan mama, Resti sudah besar. Sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Tutur Resti.
“Kalo kamu memang sudah besar. Tunjukkan pada Papa. Bahwa kamu bisa tanpa bantuan Papa.” Tegas Om Eko, kini sudah tersulut amarah.
“Resti memang sudah besar. Tapi kali ini Resti butuh bantuan Papa. Butuh sekali.” Kata resti memohon. Tak ada cara lain selain ini, hanya ini jalan satu-satunya.
“Jangan bertindak layaknya orang munafik. Papa tak suka punya anak seperti itu.” Bentak Om Eko pada Resti. Resti hanya menahan pilu di hati.
“Resti mohon Pa. kalo Papa gak mau ngasih, Resti pinjam.Resti janji bakal balikin uang itu secepatnya.” Suara Resti terdengar memelas. Tapi hati Om Eko tetap batu, tak tergoyahkan sekalipun.
“Ah, sudahlah. Papa tak punya banyak waktu untukmu. Uang Papa lebih berharga dari pada kamu, mama mu dan adikmu.” Bentak Om Eko. Deg. Hati Resti seperti tersayat, bisa-bisanya beliau mengatakan itu.
“Pa. Papa sadar gak sama ucapan Papa barusan? Apa yang Papa bilang? Uang Papa lebih berharga dari kita semua? Iya? Itukah ucapan Papa tadi? Apa Resti salah denger.” Kata Resti, suaranya kini bergetar menahan tangis di pelupuk matanya.
“Ya, Papa sadar. Dan kamu memang tidak salah dengar. Papa sadar betul atas ucapan Papa tadi.” Sergah Om Eko, semakin membuat Resti benar-benar pilu.
“Pa. Aku ini anak papa. Ortiz juga. Kita lahir di dunia ini juga karena Papa. Kita darah daging Papa. Apa Papa setega itu menyakiti kita?” Tanya Resti setengah berteriak.
“Apa yang Papa lakukan? Papa tak menyakiti mu. Lihat kamu baik-baik saja kan?” jawab Om Eko, membentak.

“Dengan sikap Papa seperti ini, itu sama aja Papa buat kita sakit. Papa tega? Papa puas? Papa bahagia liat kita menderita? HA? Jawab Pa.” emosi Resti membuncah, tak dapat tertahan. Kata-kata sang Papa membuatnya hancur seketika. Dan. PLAAAAK.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Resti. Tidak begitu keras, tapi terasa menyakitkan.
“Sekarang kamu keluar dari rumah Papa. Papa gak sudi bertemu kamu lagi.” Bentak Om Eko.
Bik Nah yang mendengar pertengkaran antara keduanya hanya menatap Resti dengan pilu. Mengapa majikannya kini berubah?

“Enggak ! Resti gak mau keluar. Resti mohon Pa. Resti pinjam uang Papa. Resti janji bakal balikin uang itu.” Kata Resti memohon dan bersujud di hadapan papa nya.
“Resti, dengar Papa. Sekarang kamu keluar dari rumah Papa. Papa sudah bilang. Uang Papa lebih berarti dari kamu dan semuanya.” Bentak Om Eko, dengan menendang Resti yang tadi bersujud di hadapnya.
Om Eko naik pitam. Entah apa yang menguasai pikirannya saat ini. Dengan penuh amarah, ditariknya Resti dari ruang tamu menuju keluar halaman. Sekalipun Resti mencoba bertahan, tarikan Om Eko semakin kencang. Perbuatan yang tak seharusnya ia lakukan.
“Bik Nah.” Om Eko berteriak.
“Iya Tuan.” Jawab Bik Nah.
“Bawa pergi anak sialan ini. Bawa ia keluar dari rumah ini. Bersihkan ruang tamu yang najis karna anak ini. Dan ingat, jangan pernah bawa masuk anak ini ke rumah saya. Saya sudah tak sudi punya anak pembangkang seperti dia.” Tutur Om Eko, emosi membuncah. Memandang Resti seperti anjing memandang kucing.
“Pa, Resti mohon. Bantu Resti sekali ini aja. Resti mohon Pa.” butiran Air mata mengiringi suara Resti yang gemetar, memohon pada Papa-nya.
“PERGI kamu ! Saya tidak sudi punya anak seperti kamu ! jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Gelandangan.” Bentak Om Eko, langsung masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan permohonan Resti.
“Okeh Pa. Kalo Papa gak mau bantu Resti. Resti akan usaha sendiri. Tapi inget Pa, Resti, mama dan Ortiz bukan GELANDANGAN.” Teriak Resti lantang, terdengar dalam rumah besar didepannya.
“Sudah non. Sudah. Lebih baik non pulang aja. Tenangin diri.” Kata Bik Nah menenangkan.
“Iya bik, Resti pulang dulu Bik. Oh ya makasi Bik udah nemuin Resti sama Papa. Resti jadi tau sifat Papa sebenarnya. Permisi Bik.” Pamit Resti.

Dalam perjalanan pulang ini, Resti sangat kacau. Pikirannya tak sampai untuk memikirkan sikap Papa-nya sekejam itu, Ia berjalan limbung tak tentu arah. Ia juga tak yakin untuk pulang ke rumah. Dengan keadaan kacau seperti ini, ia tak mungkin pulang ke rumah. Yang ada malah memperumit keadaan yang sudah rumit.

“Loh, itu kan Resti? Ngapain dia jalan sendirian di tempat sepi gini?” Tanya Leta dari dalam mobil.
“Pak stop dulu pak.” Perintah Leta pada sopirnya.
“Resti.” Panggil Leta, tak jauh dari Resti. Mau tak mau Resti menoleh, untuk melihat orang yang memanggilnya.

Oh tidak, ada Leta. Kata Resti dalam hati. Ia tak mungkin menemui Leta. Ia tak sanggup untuk menceritakan semua pada Leta. Semua terlalu pilu dan memalukan. Resti mempercepat langkah untuk menghindari Leta. Leta makin yakin dan paham jika Resti sedang kacau. Ia akan bersikap seperti ini jika benar-benar kacau. Leta mengejar Resti, akhirnya ia sejajar dengan Resti.

“Res, kamu gak bisa boongin aku. Sekarang ikut aku ke rumah dulu.” Kini Leta yakin Resti sedang kacau ketika melihat Resti dengan mata sembab dan pipi basah.

Di rumah Leta. Resti merasa lega. Meski sempat ditahannya tadi, akhirnya Resti menceritakan semua pada Leta. Walau diiringi tangis pilu, Leta memaklumi keadaan Resti. Keadaan yang benar-benar sulit. Tiba-tiba ada satu ide Leta mencoba membantu Resti.
“Oh ya Res. Aku ad aide yang mungkin bisa bantu kamu saat ini. Tapi semua terserah kamu sih.” Kata Leta, mata Resti membulat seketika. Ia berharap bantuan Leta bisa membantunya saat ini.
“Apa Let? Apa pun itu, aku pasti mau Let. Asalkan halal dan aku mampu ngelakuinnya.” Tanggap Resti penuh semangat.
“Gampang kok. kamu bisa manfaatin bakatmu dan ini juga kerjaan halal.” Tutur Leta, makin membuat Resti penasaran.
“Bakat? Bakat apa? Kayaknya aku gak punya bakat deh. Ayo donk sebutin ide mu Let.” Kata Resti bingung.
“Tante ku kan pemilik dari Best Magazine, nah kebetulan dia lagi cari model remaja buat cover dan pemotretan di redakdinya. Dan kemaren aku disuruh beliau buat nyari model dari temen-temen kita. Udah ada sih yang aku rekomendasiin, tapi pada gak cocok semua. Gimana kalo kamu coba ikut audisinya? Aku yakin kamu lolos Res.” Tutur Leta, makin membingungkan Resti. Model? Emang dia bakat? Gak juga. Memang postur Resti yang tinggi semampai dan wajah manisnya gak jelek-jelek amat kalo buat cover majalah. Dia pun juga suka berfoto ria. Tapi? Ini jadi cover majalah ternama ? apa iya dia bakal lolos seleksi? Mustahil. Piker Resti.
“Ha? Model? Kamu yakin? Itu sih jauh diatas mungkin. Aku gak yakin lolos Let.” Tutur Resti.
“Ah, belom apa-apa udah nyerah. Udahlah coba dulu Res. Aku yakin kamu pasti lolos. Besok aku anter kamu kesana. Gak boleh nolak.” Ucap Leta memaksa.
“Ya udah lah, pasrah. Masalahnya aku gak punya baju yang bagus. Gimana tante mu bisa percaya kalo aku cocok jadi modelnya?” Tanya Resti, sedikit kecewa.
“Masalah baju gak usah khawatir. Tuh ada baju se almari siap dipilih. Udah lah pokoknya besok pulang sekola kita langsung cabut ke kantor tante ku.” Tegas Leta. Resti hanya mengangguk pasrah.

“Are you ready?” tanya Leta, melirik ke arah Resti yang telah berubah.
“Yes, I’m ready” jawab Resti mantab.
Dalam perjalanan, Resti komat-kamit. Semoga ia bisa dapatkan pekerjaan ini. Ia benar-benar butuh uang,
“Tante, lihat nih. Leta bawa temen Leta lagi. Dijamin pasti cocok.” Sapa Leta sesampainya di ruang kerja Tante Sari, tantenya.
“Wah, cantik banget temenmu ini. kayaknya dia cocok deh. Ayo langsung kita coba audisinya. Kebetulan belum ada yang audisi hari ini.” kata tante Sari terkagum-kagum.
Sesi audisi foto telah usai, tinggal penilaian dari Tante Sari yang menentukan.
“Semua criteria sudah pas. Dan ini lebih dari cukup. Selamat Resti, kamu bisa jadi cover model sekarang.” Tutur tante Sari.
“Trima kasih banyak tante. Saya akan bekerja sebaik mungkin.” Tutur Resti.
Akhirnya ia , mendapat pekerjaan juga. Walau awalnya ragu, tapi apa salahnya mencoba? Toh dia juga membutuhkannya. Dan kebetulan ia bisa menjalaninya.
Kontrak pemotretan selama 2 tahun sudah ditanda tangani Resti. Kini ia tinggal menyusun jadwal agar tak menganggu sekolahnya. Semua terasa begitu mudah sekarang. Walau seribu rintangan telah hadir di awal.

1 tahun kemudian…

“Kakak, ini hadiah buat kakak. Selamat ulang tahun kak. Oh ya ini juga ucapan selamat karna kakak dapet peringkat pertama lagi.” Kata Ortiz penuh tawa.
“Iya Res, mama juga ucapin selamat ulang tahun dan selamat meraih peringkat pertama lagi. Terus rajin belajar. Ini hadiah buat kamu.” Ucap tante Rina tak kalah bahagia.
Sebulan setelah Resti bekerja, akhirnya tante Rina siuman. Memang tak bisa langsung dibawa pulang, tapi seminggu setelah siuman akhirnya keadaan tante Rina pulih total.
Dan kini kehidupan Resti sekeluarga telah berubah. Semenjak Resti menjadi model, ia bisa mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Kini pun mereka sudah memiliki tempat tinggal baru, yang lebih layak huni.

Tak berhenti sampai disitu saja. Kini Resti juga kebanjiran job pemotretan. Beberapa sempat ditolaknya, karena bertabrakan dengan Ujian sekolah. Tapi kini ia mendapat banyak tawaran. Banyak sekali yang memuji Resti sejak kehadirannya di Best Magazine.

“Makasi ma , Ortiz. Sekarang giliran Resti yang traktir kalian. Yuk kita makan diluar.” Ajak Resti
Dalam perjalanan menuju restoran, mereka bersenda gurau didalam mobil. Hingga tiba-tiba…..
“Pak, berhenti.” Perintah tante Rina pada pak sopir.
“Ciiiiiiiiiiiiit.” Decitan mobil terdengar keras.

“Ada apa sih ma? Kita kan belom nyampe. Lagian jalanan ini kan sepi.” Tanya Resti, heran.
“Res, kayaknya mama ngenalin orang itu.” Kata Tante Rina, sambil menunjuk kea rah pemulung yang sedang mengorek bak sampah.

“Ih mama ngaco deh. Dia kan pemulung. Ya bukannya sombong sih. Tapi di rumah yang dulu tetangga kita gak ada yang jadi pemulung ma. Paling parah jual asongan.” Tutur Resti, masih tak tahu apa maksud mama nya.
“Dia bukan tetangga kita, tapi dia keluarga kita.” Tutur tante Rina. Kini Ortiz angkat bicara,
“Itu bukan om Siwa kan?” tanya Ortiz.
“Memang bukan, tapi dia Papa kalian.” Kata tante Rina, seraya dengan menolehnya pemulung tadi ke jendela mobil Resti.

Sontak Resti terkejut. Ya, itu memang papa nya. Beliau menjadi gelandangan sekarang, Apa itu karma untuk beliau? Tanya Resti dalam hati. Tapi ia enggan untuk bertemu, sakit hati nya dulu masih belum bisa terobati. Dan takkan pernah.

“Pak kita jalan lagi.” Perintah Resti pada Pak sopir.

Dari luar mobil. “Resti.” Om Eko terkejut melihat seseorang yang ada dalam mobil itu. Ternyata benar, anak yang dulu dibuangnya kini telah meraih sukses. Resti di televise itu memang Resti, anaknya. Dengan bergegas, Om Eko menghampiri mobil Resti. Sudah lama ia mencari. Tapi ia tak pernah temukan. Resti sekeluarga memang pindah rumah. Dan Resti sengaja menyembunyikan identitas barunya kepada sang Papa. Semua orang telah diwanti-wantinya agar tak memberitahu papa nya.

“Resti tunggu nak. Ini papa.” Om Eko berteriak di samping mobil.
“Pak ayo kita jalan.” Perintah Resti lagi.
“Berhenti pak.” Perintah tante Rina lebih tegas.
“Resti, dia itu papa mu. Apa kamu tega berbuat semacam itu? Tak seharusnya kamu bertindak seperti itu.” Kata Tante Rina sambil keluar dari mobil menarik tangan Resti. Ortiz hanya diam, mengikuti dari belakang.

‘Mas Eko. Mengapa keadaan mas jadi seperti ini? apa yang terjadi?” tanya Tante Rina lembut.
“Maaf kan aku Rin. Maaf kan Papa juga nak.” Kata Om Eko bersujud di hadapan mereka.
“Mas. Sudahlah, yang lalu biarkan berlalu. Ayo mas ikut kita saja. Kebetulan hari ini Resti genap berusia 15 tahun” ajak Tante Rina. Mendengar itu Resti langsung gusar.
“Ma. Mama apa-apaan sih? Siapa dia? Resti gak kenal. Mama inget kan, Papa Resti udah mati, Papa Resti bukan dia. Dia sudah lama mati Ma. Kenapa mama akui dia Papa Resti?” Kata Resti gusar.
“Resti. Maafkan papa nak. Papa tau papa salah. Papa khilaf. Papa mohon ampun mu nak. Maafin papa.” Mohon Om Eko bersujud dihadapan Resti.
“Papa? Maaf, anda jangan mengada-ada. Papa saya sudah lama mati setelah ia membuang kami. Jadi saya harap anda pergi.” Ucap Resti kasar. Dia sadar tak sepantasnya ia bertindak demikian. Tapi hatinya sudah tak bisa menerima beliau. Kata maaf kan percuma diucapkan. Resti hanya menyimpan Papa nya sebagai kenangan masa lalu yang tlah hilang.
“Udah ma. Ayo kita pergi. Gak penting urusin orang sok kenal ini.” ajak Restu pada mama dan Ortiz.
“Resti. Kasar sekali bicara mu.” Kata tante Rina setengah membentak.

“Ma, udah cukup sakit ati Resti dan Ortiz. Harusnya dia ngerti. Harusnya dia sadar. Harusnya dia juga tau diri. Dan harusnya dia gak egois. Apa maksud dia ngebuang kita demi harta? Apa maksud dia gak mau anggep aku dan Ortiz sebagai anaknya? Sekarang pas aku udah sukses, seenaknya dia balik dengan kondisi menyedihkan kayak gini. Apa maksudnya? Dia Cuma ngincer harta ma. HARTA. Dia gak tau arti menyayangi dan disayangi. Dia gak punya ati. Dia batu. Dia kejam.” Tutur Resti menunjuk kearah papa nya, berlinangan air mata.

“Mama tau kamu marah. Mama tau kamu kesal. Dan mama juga tahu kamu benci, tapi lihat, papamu sudah berubah. Mama bisa lihat itu.” Jawab Tante Rina menenangkan.
“Mama jangan percaya sama dia. Dia munafik. Dia pengkhianat. Dia gak tanggung jawab. Resti gak percaya dia sadar. Dia bukan siapa-siapa Resti lagi. Dan Restii gak mau kenal orang macam dia. GAK AKAN PERNAH MA.” Tutur Resti, makin sesenggukan.

“Resti maafin Papa nak. Papa sudah keterlaluan sama kamu. Kini Papa mohon terima Papa lagi. Papa janji tak akan mengulangi lagi,” tutur Om Eko. Kini ia mengerti betapa sakit dan pilu nya hati Resti saat ia mengusirnya dulu. Terasa sakit dan memilukan. Semua daya dikerahkan Om Eko agar maaf itu terucap dari mulut anaknya dan ia bisa menerimanya lagi. Om Eko tak sanggup lagi kehilangan keluarga ini.

“Segampang itu anda meminta maaf? Anda sudah mendengar kan bahwa tak ada kata maaf bagi anda. Dan anda tidak lupa kan kalau saya bukan anak anda lagi. Saya hanya seorang gelandangan yang munafik . untuk apa sekarang anda mengakui saya anak anda? Apa anda tak malu mempunyai anak munafik dan gelandangan?” Tanya Resti mengejek. Setiap kata yang diucapkan keluar begitu saja. Resti kesal menghadapi papa-nya hingga ia tak kuasa menumpahkan emosi yang tertahankan dulu.
“Maaf nak. Maafin papa.” Hanya itu kata dari Om Eko.

“UDAAAAAAAAAAAAH. STOOOOOOOP. PAPA PERGIIIII. RESTI GAK MAU KETEMU PAPA. RESTI BENCI PAPA. RESTI GAK PUNYA PAPA. RESTI GAK BISA MAAFIN PAPA. RESTI BENCI PAPA. PERGIII. JANGAN GANGGU KITA PA. KITA UDAH BAHAGIA TANPA PAPA. KALO PAPA SENGSARA SEKARANG ITU KARENA ULAH PAPA YANG BODOH DAN MARUK. “ teriak Resti penuh emosi.

Semua yang ada terkejut melihat Resti kalap. Resti tak tahan melihat Papa nya. Sampai saat ini ia masih belum bisa memaafkan Papa nya. Mungkin bisa dimaafkan, tapi semua butuh proses. Sama seperti proses Om Eko untuk sadar.

Tanpa memperdulikan Om Eko. Resti, Ortiz, dan Tante Rina masuk kembali dalam mobil. Tante Rina tak tega melihat Resti. Beliau merasa bersalah telah memaksa Resti menerima Om Eko lagi. Kini ia sadar, Resti masih butuh waktu untuk menerima Om Eko lagi. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.

Saat mobil baru akan melaju, Resti tiba-tiba membuka pintu mobil. Dan berteriak.
“AKU BENCI PAPA. AKU MARAH. TAPI AKU SAYANG PAPA. AKU KANGEN PAPA. TAPI TOLONG PAHAMI RESTI, RESTI BUTUH WAKTU UNTUK MAAFIN PAPA. SEMUA GAK SEMUDAH YANG PAPA KIRA.” Resti meluapkan emosi.

Setelah itu Resti masuk kembali ke dalam mobil. Menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Tante Rina.
Kini Resti telah berhasil membuktikan pada Papa nya. Bahwa ia bisa sukses tanpa beliau. Ia sudah buktikan itu. Dan Resti berjanji sejak saat itu. Ia pasti menerima papa nya kembali, namun ia masih butuh waktu untuk menyembuhkan sakit hatinya. Ia akan hidup bahagia lagi bersama mama papa nya.



Nanti ……….




Also find at….

http://cerpen.net/cerpen-motivasi/karena-aku-bisa-part.-i.html ,

http://cerpen.net/cerpen-motivasi/karena-aku-bisa-part.-ii.html ,

http://cerpen.net/cerpen-motivasi/karena-aku-bisa-part.-iii.html ,

http://cerpen.net/cerpen-motivasi/karena-aku-bisa-part.-iv.html ,

http://cerpen.net/cerpen-motivasi/karena-aku-bisa-part.-v.html ,

and

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lucky Charms Rainbow